Kritik Terhadap Teori Kebutuhan Maslow (bagian 2)

Oleh : Zaenal Muhtadin

KRITIK TERHADAP TEORI “HIERARKI KEBUTUHAN”

Teori hierarki kebutuhan manusia yang dipopulerkan Maslow, menjadi landasan motivasi bagi manusia untuk berperilaku dan dipelajari diberbagai perguruan tinggi. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dikritisi keabsahannya, diantaranya :
1.      Manusia makhluk yang serakah, individualis dan egois
Dari Teori Maslow ini terlihat bahwa manusia tidak pernah merasa puas. Ketika kebutuhan yang satu telah terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan yang lainnya yang lebih meningkat. Terlepas dari itu, masing-masing manusia punya standar khusus untuk tiap-tiap kebutuhan itu bahkan standarnya akan terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga manusia tidak akan pernah puas akan kebutuhan-kebutuhan itu.[1] Bila mengikuti Teori Maslow maka manusia tidak akan pernah bisa meningkat ke kebutuhan yang lainnya karena sepanjang hidup manusia tidak akan pernah puas dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Manusia sibuk untuk pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan yang tidak pernah bisa terpuaskan karena tidak pernah “cukup”.[2] Akhirnya yang tercipta adalah manusia-manusia yang serakah, individualisme, egoisme. Manusia-manusia yang mempunyai motto “hidup untuk makan” bukan “makan untuk hidup”.[3] Dan kalaupun ia sudah mencapai kebutuhan yang lebih tinggi, tidak berarti bahwa manusia itu tidak akan memikirkan lagi akan kebutuhan dasarnya.
2.      Klasifikasi hierarki kebutuhan yang tidak tepat
Manusia makhluk yang dinamis dan multidimensional.[4] Tidak perlu ada kasta kebutuhan. Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, ada kebutuhan jasmani, ada kebutuhan rohani. Tubuh membutuhkan udara, makanan, air, istirahat dan ini memang diperlukan untuk menjaga agar tubuh bisa berfungsi dengan baik. Karena jika tubuh kekurangan nutrisi bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemah. Juga sampai saat ini belum cukup bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok yang berbeda atau berada pada suatu hierarki.
Tingkatan-tingkatan di dalam teori Maslow bersifat relatif. Urutan hierarki spesifik tidak sama bagi semua orang karena mungkin benar bagi satu orang, tetapi belum tentu sesuai dengan orang lain. Misalnya apakah kita harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan fisiologis sebelum kita membutuhkan cinta?. Lalu, apakah kita tidak membutuhkan cinta, apabila kita tidak atau belum memenuhi kebutuhan akan rasa aman?. Padahal, seorang ibu rela mati demi anaknya tanpa dia memikirkan apakah dia sedang lapar atau dia sedang terancam keamanannya,[5] Sahabat Ali bin Abi Thalib rela mempertaruhkan nyawa dengan menggantikan posisi Rosulullah di pembaringan ketika peristiwa hijrah,[6] begitu pula Abu Bakar menemani Nabi berhijrah kemadinah.[7] Juga tidak ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan mungkin ada beberapa kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang sama. Ini berarti teori Maslow tidak berlaku, dan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak perlu untuk disusun secara hierarkis.
Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan yang berada pada hierarki lebih tinggi tidak harus dipenuhi sebelum seseorang memenuhi kebutuhan yang lebih bawah tingkatannya. Sebagai misal seorang yang lapar atau seorang yang secara fisik dalam bahaya tidak begitu menghiraukan untuk mempertahankan konsep diri positif[8] (gambaran terhadap diri sendiri sebagai orang baik) dibandingkan untuk mendapatkan makanan atau keamanan. Namun begitu, orang yang tidak lagi lapar atau tidak lagi dicekam rasa takut, kebutuhan akan harga diri menjadi penting. Tetapi pertanyaan mendasar adalah apakah kebutuhan tentang harga diri harus menunggu kebutuhan fisik dan rasa aman lebih dahulu?. Padahal setiap individu dari strata apapun harga diri ditempatkan sebagai unsur yang utama.[9] Itulah hakekat dari pengertian manusiawi. Jangan hanya gara-gara kebutuhan fisik yang belum terpenuhi maksimum lalu harga diri terkorbankan.
3.      Hierarki yang tidak logis
Teori ini disusun secara hierarki. Berawal dari kebutuhan paling mendasar atau primer sampai kepada tahap yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Pada hierarki 1sampai 4 tersusun secara urut, akan tetapi menjadi tidak logis pada kebutuhan mencapai aktualisasi diri, seolah ada sebuah loncatan logika dari yang sebelumnya. Kebutuhan itu sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti.  Seakan-akan ada missing link antara piramida ke-4 dengan puncak piramida.
4.      Teori hierarki maslow tidak ilmiah
Berdasarkan catatan sejarah, Maslow menggunakan penelitian kualitatif terhadap 18 orang terpilih dengan metode yang disebut sebagai Biographical Analysis. Metode tersebut sangat rentan bias antara data yang diolah dengan opini subjektif sang peneliti, sehingga banyak peneliti yang bertentang dengan Maslow. Selain itu, terdapat bias pada subjek yang Maslow teliti, 18 cendikiawan pria kulit putih yang notabene pada masa tersebut kesemuanya adalah golongan atas. Oleh karena itu Hierarki Kebutuhan masih diragukan untuk dipakai untuk mewakili semua kalangan masyarakat. Pada beberapa kasus, seseorang tentu saja dapat memperoleh rasa cinta dari orang lain walau dalam keadaan miskin (Safety Needs).[10] Dapat disimpulkan bahwa Hierarki Kebutuhan oleh Maslow bukanlah sebuah hierarki namun sebuah hipotesa dimana seseorang dapat memenuhi setiap kategori kebutuhan tanpa berurutan.[11]
5.      Pengalaman Puncak Maslow bersifat ‘alami’
Maslow berpendapat bahwa orang yang telah berhasil melewati empat tahapan hierarki kebutuhan dasar akan sampai pada tingkat aktualisasi diri, dan bisa mencapai pengalaman puncak (peak experience), yaitu suatu pengalaman keterpesonaan, perasaan bahagia dan sensasi yang mendalam, kegembiraan yang mendalam. [12] Pengalaman puncak tidak mesti berhubungan dengan agama. Setiap orang bisa mengalaminya, dalam intensitas dan kadar yang berbeda-beda. Pengalaman puncak bisa didapatkan misalnya ketika asyik bekerja, mendengarkan musik, memenangkan lomba, membaca cerita, bahkan saat mengamati matahari terbenam. Dengan demikian pengalaman puncak yang dimaksud Maslow adalah kebersatuan manusia (makhluk) dengan alam (makhluk) [13] bukan dengan Tuhan atau sang pencipata sebagai mana yang diungkap oleh para ulama, seperti Abu Yazid Al-Busthami, [14] Abu Bakar Al-Kalabazi,[15] Imam Ghazali, [16] serta Sahabat nabi Imam Ali ra.[17]
6.      Tiadanya kebutuhan spiritual atau agama
Di dalam teori ini aspek spiritual tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Padahal sejatinya manusia adalah makhluk yang memiliki dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani.[18] Keduanya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus berjalan sinergis sehingga keduanya dapat berjalan secara seimbang. Jika manusia hanya mengedepankan aspek lahiriah saja, maka ia tidak berbeda dengan binatang.[19] Hubungan antara keduanya harus seimbang, sehingga dapat tercipta relasi yang harmonis.[20] Keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri karena akan menimbulkan kegagalan dalam mencapai kehidupan yang diharapkannya. Sehingga rohani atau jiwa menjadi aspek yang penting dalam kehidupan manusia.
Orang bersedekah, menunaikan sholat, zakat, ibadah haji dan jihad berperang adalah suatu kebutuhan spiritual semata-mata karena motivasi agama, penyerahan terhadap Tuhannya.[21] Kebutuhan itulah yang tidak terkategorikan di dalam hierarki teori Maslow. Tubuh dan jiwa saling berkaitan, keduanya tidak bisa dipisahkan bila manusia mau disebut utuh.[22] Kelemahan dalam tubuh dapat mempengaruhi jiwa, kekurangan dalam jiwa pasti akan mempengaruhi tubuh.[23] Ini tidak berarti bahwa kesehatan tubuh dapat diabaikan. Baik aspek rohani maupun aspek jasmani harus berada dalam keseimbangan, namun bila mau diurut memelihara jiwa harus didahulukan daripada memelihara tubuh.[24] Beraktualisasi diri tidak perlu menunggu kebutuhan dasar, rasa aman, rasa cinta, dan percaya diri terpenuhi.
Stephen R.Covey dalam bukunya First Things First mengatakan bahwa Maslow sendiri pada tahun-tahun terakhirnya merevisi teorinya tersebut. Katanya,  Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya.[25] Mungkin, yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama. Sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual. Namun demikian Maslow tetap tidak mengakui adanya Tuhan.

PENUTUP

Manusia adalah makhluk yang kompleks dan dinamis. kebutuhannya tidak bisa dikategorikan dalam lima tingkat atau susunan kebutuhan. Manusia membutuhkan sandang, papan, serta pangan sebagaimana manusia membutuhkan rasa aman, harga diri dan beribadah. Seperti dalam firman-Nya bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Kebutuhan ini tidak bisa disusun secara hierarki. Kaum Atheis mementingkan pemenuhan fisik dari pada yang lain. Sedangkan sebagian kaum agamawan pemenuhan tuntutan beragama lebih diutamakan dari kebutuhan apapun.
Teori yang dipopulerkan Maslow ini tidaklah bersifat universal. Tidak bisa mencakup dan tepat untuk seluruh tingkat dan lapisan masyarakat. Latar belakang masyarakat, tingkat ekonomi, pendidikan, prioritas hidup dan budaya yang berbeda menyebabkan kebutuhan dan hieraki yang berbeda pula untuk setiap orang. Karena itulah hierarki ini batal secara logika maupun ilmiah.

 DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru, 1988).
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements Of Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001).
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988).
Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Ihya Ulumuddin, (Semarang: Karya Toha Putra, tt.).
Al-Kalabadzi, Abu Bakar Muhammad, Ajaran-Ajaran Sufi Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, (Bandung: Pustaka, 1985 ).
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyaturrahman, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad SAW Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2001).
Al-Qaradhawi, Yusuf, Al-Quran Menyuruh Kita Sabar, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Al-Syaikh, Badwi Mahmud, 100 Pesan Nabi Untuk Wanita: Penuntun Akhlak dan Ibadah, Pent. M. Khairon Durori, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010).
As-Sadr, Sayyid Mahdi, Saling Memberi Saling Menerima, (Jakarta: Zahra Publishing House, 2003).
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi psikologi dengan Islam: menuju psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Yayasan Insan Kamil, 1995).
Brian Johnson, The 19 Characteristics of Maslow’s Self-Actualizer, diakses di http://www.entheos.com/ideas/brian-johnson/773/the-19-characteristics-of-maslows-self-actualizer, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;49 wib.
Colinns, Vincent P., Aku Diriku dan Engkau, Me My Self & You, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Covey, Stephen R., A. Roger Merrill, Rebecca R. Merrill, First Things First, (New York: Free Press, 2003).
Darmawangsa, Darmadi dan Imam Munadi, Fight Like a Tiger Win Like a Champion, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008).
Ewen, Robert B., An Introduction to Theories of Personality: 6th Edition, (t.k.: Psychology Press, 2003).
Goble, Frank G., Mazhab ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, pent. A. Supratinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey, Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993).
Hardjana, Agus M., Religiositas, Agama, Dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
Hendry, Review Teori Motivasi Kebutuhan : Teori Hierarki Maslow, diakses di http://teorionline.net/review-teori-motivasi-kebutuhan-maslow, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;43 wib.
Hibban, Muhammad ibn, Shahih ibn Hibban, Tahqiq Syu’aib Arnout, Hadits No. 297, (Bairut: Muasasah Ar-Risalah, 1993).
Hirarki Maslow Yang Tak Hakiki Lagi, diakses di http://www.agungcahyadi.com, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 09;30 wib.
Hoffman, Edward, The Right to be Human: A Biography of Abraham Maslow, (Mcgraw-Hill; Rev Upd Su edition, 1999).
Ismail, Andar, Selamat Pagi Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gita Media Press, tt.).
Kaufman, Gershen dan Lev Raphael, Dinamika Kuasa, pent. Antonius Wuisan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994).
Maslow, Abraham Harold, The Maslow Business Reader, Edited by Deborah C. Stephens, (New York: John Wiley & Sons, 2000).
Maslow, Abraham, diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow, pada tanggal 11 Mei 2014, pukul 20:44 wib.
Medina, John Fitzgerald, Faith, Physics, and Psychology: Rethinking Society and the Human Spirit, (Illinois: Baha’i Publishing, 2006).
Nasrul, Erdy, Pengalaman Puncak Abraham Maslow, (Ponorogo: Central For Islamic And Occidental Studies (CIOS), 2011).
Nevid, Jeffrey S., Psychology: Concepts and Applications, (Canada: Cengage Learning, 2012).
Profil Abraham Maslow, diakses di http://profil.merdeka.com/mancanegara/a/abraham-harold-maslow/, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;38 wib.
Putrayasa, Putu, Desain Ulang Hidup Anda, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan Dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002).
Sayyid, Majdi Fathi, Amal yang dibenci dan yang dicintai Allah: panduan untuk muslimah, Pent. Nabhani Idris, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
Shihab, Moh. Quraish, Lentera hati: kisah dan hikmah kehidupan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007).
Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Syaifuddin, A., Uswatun Hasanah, Kamus Pancasila: Istilah dan Teori, (Jakarta: Nur Cahaya, 1991).
Syam, Yunus Hanis, Sabar dan Syukur Bikin Hidup Lebih Bahagia,  (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009).
Yakan, Fathi, Islam di Persimpangan Paham Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992).
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).




[1] Majdi Fathi Sayyid, Amal yang dibenci dan yang dicintai Allah: panduan untuk muslimah, Pent. Nabhani Idris, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal. 208-213.
[2] Vincent P. Colinns, Aku Diriku dan Engkau, Me My Self & You, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 15.
[3] Andar Ismail, Selamat Pagi Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hal. 35.
[4] Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 4-7.
[5] Badwi Mahmud Al-Syaikh, 100 Pesan Nabi Untuk Wanita: Penuntun Akhlak dan Ibadah, Pent. M. Khairon Durori, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), hal. 123.
[6] Syaikh Shafiyaturrahman Al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad SAW Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2001), hal. 234.
[7] Ibid, hal. 236-240
[8] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 140.
[9] Gershen Kaufman dan Lev Raphael, Dinamika Kuasa, Pent. Antonius Wuisan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. xiv.
[10] Yunus Hanis Syam, Sabar dan Syukur Bikin Hidup Lebih Bahagia,  (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 59.
[11] Hirarki Maslow Yang Tak Hakiki Lagi, diakses di http://www.agungcahyadi.com, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 09;30 wib.
[12] John Fitzgerald Medina, Faith, Physics, and Psychology: Rethinking Society and the Human Spirit, (Illinois: Baha’i Publishing, 2006), hal. 65-67.
[13] Erdy Nasrul, Pengalaman Puncak Abraham Maslow......hal. 41-42.
[14] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), hal. 94.
[15] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, (Bandung: Pustaka, 1985 ), hal. 175.
[16] Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Semarang: Karya Toha Putra, tt.), juz 4, hal. 85.
[17] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 232.
[18] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements Of Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001), hal. 143
[19] Ibid, p. 146
[20] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 165
[21] Moh. Quraish Shihab, Lentera hati: kisah dan hikmah kehidupan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 19.
[22] Dalam hal ini Imam Ghazali menjelasan bahwa tubuh dan jiwa mempunyai kaitan yang sangat erat laksana  raja dan para pembantunya, pimpinan dan bawahannya, tuan dan budaknya. Lihat Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, Ihya…..juz 3, hal. 5.
[23] Ibid                                                                                                               
[24] Muhammad ibn Hibban, Shahih ibn Hibban, Tahqiq Syu’aib Arnout, Hadits No. 297, (Bairut: Muasasah Ar-Risalah, 1993), Juz 1, hal. 532.
[25] Stephen R. Covey, A. Roger Merrill, Rebecca R. Merrill, First Things First, (New York: Free Press, 2003), hal. 49.


Kembali ke bagian-1
Share on Google Plus

About Zaenal Muhtadin

Adalah Sebuah keputusan This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment