Oleh : Zaenal Muhtadin
KRITIK
TERHADAP TEORI “HIERARKI KEBUTUHAN”
Teori hierarki kebutuhan manusia yang
dipopulerkan Maslow, menjadi landasan motivasi bagi manusia untuk berperilaku
dan dipelajari diberbagai perguruan tinggi. Namun demikian ada beberapa hal
yang perlu dikritisi keabsahannya,
diantaranya :
1. Manusia makhluk yang serakah,
individualis dan egois
Dari Teori Maslow ini terlihat bahwa
manusia tidak pernah merasa puas. Ketika kebutuhan yang satu telah terpenuhi,
maka akan muncul kebutuhan yang lainnya yang lebih meningkat. Terlepas dari
itu, masing-masing manusia punya standar khusus untuk tiap-tiap kebutuhan itu
bahkan standarnya akan terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman.
Sehingga manusia
tidak akan pernah puas akan kebutuhan-kebutuhan itu.[1]
Bila mengikuti Teori Maslow maka manusia tidak akan pernah bisa meningkat ke
kebutuhan yang lainnya karena sepanjang hidup manusia tidak akan pernah puas
dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Manusia sibuk untuk pemenuhan kebutuhan
akan sandang, pangan dan papan yang tidak pernah bisa terpuaskan karena tidak
pernah “cukup”.[2] Akhirnya
yang tercipta adalah manusia-manusia yang serakah, individualisme, egoisme.
Manusia-manusia yang mempunyai motto “hidup untuk makan” bukan “makan untuk
hidup”.[3]
Dan kalaupun ia sudah mencapai kebutuhan yang lebih tinggi, tidak berarti bahwa
manusia itu tidak akan memikirkan lagi akan kebutuhan dasarnya.
2. Klasifikasi hierarki kebutuhan yang
tidak tepat
Manusia makhluk yang dinamis dan
multidimensional.[4] Tidak
perlu ada kasta kebutuhan. Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, ada kebutuhan
jasmani, ada kebutuhan rohani. Tubuh membutuhkan udara, makanan, air, istirahat
dan ini memang diperlukan untuk menjaga agar tubuh bisa berfungsi dengan baik.
Karena jika tubuh kekurangan nutrisi bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemah.
Juga sampai saat ini belum cukup bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa
kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok yang
berbeda atau berada pada suatu hierarki.
Tingkatan-tingkatan di dalam teori
Maslow bersifat relatif. Urutan hierarki spesifik tidak sama bagi semua orang
karena mungkin benar bagi satu orang, tetapi belum tentu sesuai dengan orang
lain. Misalnya apakah kita harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan fisiologis
sebelum kita membutuhkan cinta?. Lalu, apakah kita tidak membutuhkan cinta, apabila
kita tidak atau belum memenuhi kebutuhan akan rasa aman?. Padahal, seorang ibu
rela mati demi anaknya tanpa dia memikirkan apakah dia sedang lapar atau dia
sedang terancam keamanannya,[5]
Sahabat Ali bin Abi Thalib rela mempertaruhkan nyawa dengan menggantikan posisi
Rosulullah di pembaringan ketika peristiwa hijrah,[6]
begitu pula Abu Bakar menemani Nabi berhijrah kemadinah.[7]
Juga tidak ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan
mungkin ada beberapa kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang
sama. Ini berarti teori Maslow tidak berlaku, dan kebutuhan-kebutuhan tersebut
tidak perlu untuk disusun secara hierarkis.
Menurut teori kebutuhan Maslow,
kebutuhan yang berada pada hierarki lebih tinggi tidak harus dipenuhi sebelum
seseorang memenuhi kebutuhan yang lebih bawah tingkatannya. Sebagai misal
seorang yang lapar atau seorang yang secara fisik dalam bahaya tidak begitu
menghiraukan untuk mempertahankan konsep diri positif[8]
(gambaran terhadap diri sendiri sebagai orang baik) dibandingkan untuk
mendapatkan makanan atau keamanan. Namun
begitu, orang yang tidak lagi lapar atau tidak lagi dicekam rasa takut,
kebutuhan akan harga diri menjadi penting. Tetapi pertanyaan
mendasar adalah apakah kebutuhan tentang harga diri harus menunggu kebutuhan
fisik dan rasa aman lebih dahulu?.
Padahal setiap individu dari strata apapun harga diri ditempatkan sebagai unsur
yang utama.[9] Itulah hakekat dari
pengertian manusiawi. Jangan hanya gara-gara kebutuhan fisik yang belum
terpenuhi maksimum lalu harga diri terkorbankan.
3. Hierarki yang tidak logis
Teori ini disusun secara hierarki. Berawal dari kebutuhan paling mendasar atau primer
sampai kepada tahap yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
Pada hierarki 1sampai 4 tersusun secara urut, akan tetapi menjadi tidak logis
pada kebutuhan mencapai aktualisasi diri, seolah ada sebuah loncatan logika
dari yang sebelumnya. Kebutuhan itu
sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah
dimengerti. Seakan-akan ada missing link
antara piramida ke-4 dengan puncak piramida.
4. Teori hierarki maslow tidak ilmiah
Berdasarkan catatan sejarah, Maslow
menggunakan penelitian kualitatif terhadap 18 orang terpilih dengan metode yang
disebut sebagai Biographical Analysis. Metode tersebut sangat rentan
bias antara data yang diolah dengan opini subjektif sang peneliti, sehingga
banyak peneliti yang bertentang dengan Maslow. Selain itu, terdapat
bias pada subjek yang Maslow teliti,
18 cendikiawan pria kulit putih yang
notabene pada masa tersebut kesemuanya adalah
golongan atas. Oleh karena itu Hierarki Kebutuhan masih diragukan untuk dipakai
untuk mewakili semua kalangan masyarakat. Pada beberapa kasus, seseorang tentu
saja dapat memperoleh rasa cinta dari orang lain walau dalam keadaan miskin (Safety
Needs).[10] Dapat disimpulkan bahwa
Hierarki Kebutuhan oleh Maslow bukanlah sebuah hierarki namun sebuah hipotesa
dimana seseorang dapat memenuhi setiap kategori kebutuhan tanpa berurutan.[11]
5.
Pengalaman Puncak Maslow bersifat ‘alami’
Maslow berpendapat bahwa orang yang
telah berhasil melewati empat tahapan hierarki kebutuhan dasar akan sampai pada
tingkat aktualisasi diri, dan bisa mencapai pengalaman puncak (peak
experience), yaitu suatu pengalaman keterpesonaan, perasaan bahagia dan
sensasi yang mendalam, kegembiraan yang mendalam. [12]
Pengalaman puncak tidak mesti berhubungan dengan agama. Setiap orang bisa
mengalaminya, dalam intensitas dan kadar yang berbeda-beda. Pengalaman puncak
bisa didapatkan misalnya ketika asyik bekerja, mendengarkan musik, memenangkan
lomba, membaca cerita, bahkan saat mengamati matahari terbenam. Dengan demikian
pengalaman puncak yang dimaksud Maslow adalah kebersatuan manusia (makhluk)
dengan alam (makhluk) [13] bukan
dengan Tuhan atau sang pencipata sebagai mana yang diungkap oleh para ulama,
seperti Abu Yazid Al-Busthami, [14]
Abu Bakar Al-Kalabazi,[15]
Imam Ghazali, [16] serta
Sahabat nabi Imam Ali ra.[17]
6. Tiadanya kebutuhan spiritual atau agama
Di dalam teori ini aspek spiritual tidak
mendapatkan perhatian sama sekali. Padahal
sejatinya manusia adalah makhluk yang memiliki dua unsur, yaitu unsur jasmani
dan rohani.[18]
Keduanya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus berjalan
sinergis sehingga keduanya dapat berjalan secara seimbang. Jika manusia hanya
mengedepankan aspek lahiriah saja, maka ia tidak berbeda dengan binatang.[19]
Hubungan antara keduanya harus seimbang, sehingga dapat tercipta relasi yang
harmonis.[20]
Keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri karena akan menimbulkan kegagalan
dalam mencapai kehidupan yang diharapkannya. Sehingga rohani atau
jiwa menjadi aspek yang penting dalam kehidupan manusia.
Orang bersedekah, menunaikan sholat,
zakat, ibadah haji dan jihad berperang adalah suatu kebutuhan ‘spiritual’ semata-mata karena
motivasi agama, penyerahan terhadap Tuhannya.[21]
Kebutuhan itulah yang tidak terkategorikan di dalam hierarki teori Maslow.
Tubuh dan jiwa saling berkaitan, keduanya tidak bisa dipisahkan bila manusia
mau disebut utuh.[22]
Kelemahan dalam tubuh dapat mempengaruhi jiwa, kekurangan dalam jiwa pasti akan
mempengaruhi tubuh.[23]
Ini tidak berarti bahwa kesehatan tubuh dapat diabaikan. Baik aspek rohani
maupun aspek jasmani harus berada dalam keseimbangan, namun bila mau diurut
memelihara jiwa harus didahulukan daripada memelihara tubuh.[24]
Beraktualisasi diri tidak perlu menunggu kebutuhan dasar, rasa aman, rasa
cinta, dan percaya diri terpenuhi.
Stephen R.Covey dalam bukunya First
Things First mengatakan bahwa Maslow
sendiri pada tahun-tahun terakhirnya
merevisi teorinya tersebut. Katanya,
Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri bukanlah kebutuhan tertinggi
namun masih ada lagi yang lebih tinggi yaitu self transcendence yaitu
hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya.[25]
Mungkin, yang dimaksud Maslow
adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup beragama. Sekarang lebih dikenal sebagai
kebutuhan spiritual. Namun demikian
Maslow tetap tidak mengakui adanya Tuhan.
Manusia adalah
makhluk yang kompleks dan dinamis. kebutuhannya tidak bisa dikategorikan dalam
lima tingkat atau susunan kebutuhan. Manusia membutuhkan sandang, papan, serta
pangan sebagaimana manusia membutuhkan rasa aman,
harga diri dan beribadah. Seperti dalam firman-Nya bahwa tujuan dari penciptaan
manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Kebutuhan ini tidak bisa disusun
secara hierarki. Kaum Atheis mementingkan pemenuhan fisik dari pada yang lain. Sedangkan sebagian kaum agamawan pemenuhan tuntutan beragama lebih diutamakan dari kebutuhan
apapun.
Teori yang
dipopulerkan Maslow ini tidaklah bersifat universal. Tidak
bisa mencakup dan tepat untuk seluruh tingkat dan lapisan masyarakat.
Latar belakang masyarakat, tingkat ekonomi,
pendidikan, prioritas
hidup dan budaya yang berbeda
menyebabkan kebutuhan dan hieraki yang berbeda pula untuk setiap orang. Karena itulah hierarki
ini batal secara logika maupun ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi,
Abdul Aziz, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung:
Sinar Baru, 1988).
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena
To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements Of
Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001).
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung:
Pustaka, 1988).
Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad, Ihya Ulumuddin, (Semarang: Karya Toha Putra, tt.).
Al-Kalabadzi, Abu Bakar Muhammad, Ajaran-Ajaran
Sufi Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, (Bandung: Pustaka, 1985 ).
Al-Mubarakfuri,
Syaikh Shafiyaturrahman, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad SAW Dari
Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Kantor Atase Agama
Kerajaan Saudi Arabia, 2001).
Al-Qaradhawi,
Yusuf, Al-Quran Menyuruh Kita Sabar, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Al-Syaikh, Badwi Mahmud, 100
Pesan Nabi Untuk Wanita: Penuntun Akhlak dan Ibadah, Pent. M. Khairon Durori, (Bandung: Mizan Pustaka,
2010).
As-Sadr,
Sayyid Mahdi, Saling Memberi Saling Menerima, (Jakarta: Zahra Publishing
House, 2003).
Bastaman,
Hanna Djumhana, Integrasi psikologi dengan Islam: menuju psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Yayasan Insan Kamil, 1995).
Brian
Johnson, The 19 Characteristics of Maslow’s Self-Actualizer, diakses di http://www.entheos.com/ideas/brian-johnson/773/the-19-characteristics-of-maslows-self-actualizer, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;49 wib.
Colinns, Vincent P., Aku Diriku dan Engkau,
Me My Self & You, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Covey, Stephen R., A. Roger Merrill,
Rebecca R. Merrill, First
Things First, (New York:
Free Press, 2003).
Darmawangsa,
Darmadi dan Imam Munadi, Fight Like a Tiger Win Like a Champion,
(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008).
Ewen,
Robert B., An Introduction to Theories of Personality: 6th Edition,
(t.k.: Psychology Press, 2003).
Goble, Frank G., Mazhab
ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, pent. A. Supratinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey, Teori-teori
Holistik (Organismik-Fenomenologis), (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Hall,
Calvin S. dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993).
Hamka,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1993).
Hardjana,
Agus M., Religiositas, Agama, Dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius,
2005).
Hendry,
Review Teori Motivasi Kebutuhan : Teori Hierarki Maslow, diakses di http://teorionline.net/review-teori-motivasi-kebutuhan-maslow, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;43 wib.
Hibban, Muhammad ibn, Shahih
ibn Hibban, Tahqiq Syu’aib Arnout, Hadits
No. 297, (Bairut:
Muasasah Ar-Risalah, 1993).
Hirarki
Maslow Yang Tak Hakiki Lagi, diakses di http://www.agungcahyadi.com, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 09;30 wib.
Hoffman, Edward, The Right to
be Human: A Biography of Abraham Maslow, (Mcgraw-Hill; Rev Upd Su edition, 1999).
Ismail, Andar, Selamat Pagi Tuhan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008).
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Gita
Media Press, tt.).
Kaufman, Gershen dan Lev Raphael, Dinamika Kuasa,
pent. Antonius Wuisan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994).
Maslow,
Abraham Harold, The Maslow Business Reader, Edited by Deborah C.
Stephens, (New York: John Wiley & Sons, 2000).
Maslow, Abraham, diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow, pada tanggal 11 Mei 2014, pukul 20:44 wib.
Medina, John Fitzgerald, Faith,
Physics, and Psychology: Rethinking Society and the Human Spirit,
(Illinois: Baha’i Publishing, 2006).
Nasrul, Erdy, Pengalaman
Puncak Abraham Maslow, (Ponorogo: Central For Islamic And Occidental
Studies (CIOS), 2011).
Nevid,
Jeffrey S., Psychology: Concepts and Applications, (Canada: Cengage
Learning, 2012).
Profil
Abraham Maslow, diakses di http://profil.merdeka.com/mancanegara/a/abraham-harold-maslow/, pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 11;38 wib.
Putrayasa,
Putu, Desain Ulang Hidup Anda, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan
Dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,
2002).
Sayyid, Majdi Fathi, Amal yang dibenci dan
yang dicintai Allah: panduan untuk muslimah, Pent. Nabhani Idris, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Schultz,
Duane, Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991).
Shihab, Moh. Quraish, Lentera hati: kisah dan
hikmah kehidupan, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2007).
Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Syaifuddin,
A., Uswatun Hasanah, Kamus Pancasila: Istilah dan Teori, (Jakarta: Nur
Cahaya, 1991).
Syam, Yunus Hanis, Sabar dan Syukur Bikin
Hidup Lebih Bahagia, (Yogyakarta:
Mutiara Media, 2009).
Yakan,
Fathi, Islam di Persimpangan Paham Modern, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992).
Zahri, Mustafa, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).
[1] Majdi Fathi Sayyid, Amal yang dibenci dan
yang dicintai Allah: panduan untuk muslimah, Pent. Nabhani Idris, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), hal. 208-213.
[2] Vincent P. Colinns, Aku Diriku dan Engkau, Me
My Self & You, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 15.
[5] Badwi
Mahmud Al-Syaikh, 100
Pesan Nabi Untuk Wanita: Penuntun Akhlak dan Ibadah, Pent.
M. Khairon Durori, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), hal. 123.
[6] Syaikh
Shafiyaturrahman Al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad
SAW Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Kantor Atase
Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2001), hal. 234.
[8] Calvin S.
Hall dan Gardner Lindzey, Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis),
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 140.
[9] Gershen
Kaufman dan Lev Raphael, Dinamika Kuasa, Pent. Antonius Wuisan,
(Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. xiv.
[10] Yunus Hanis Syam, Sabar dan Syukur Bikin
Hidup Lebih Bahagia, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 59.
[11] Hirarki Maslow Yang Tak
Hakiki Lagi, diakses di http://www.agungcahyadi.com, pada
tanggal 12 Mei 2014, pukul 09;30 wib.
[12] John Fitzgerald Medina, Faith,
Physics, and Psychology: Rethinking Society and the Human Spirit,
(Illinois: Baha’i Publishing, 2006), hal. 65-67.
[13] Erdy Nasrul, Pengalaman
Puncak Abraham Maslow......hal. 41-42.
[14] Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), hal.
94.
[15] Abu Bakar Muhammad
Al-Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi,
(Bandung: Pustaka, 1985 ), hal. 175.
[16] Abu Hamid
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,
(Semarang: Karya Toha Putra, tt.), juz 4, hal. 85.
[17] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 232.
[18] Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The
Fundamental Elements Of Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001), hal. 143
[21] Moh. Quraish Shihab, Lentera hati: kisah dan
hikmah kehidupan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 19.
[22] Dalam hal
ini Imam Ghazali menjelasan bahwa tubuh dan jiwa mempunyai kaitan yang sangat
erat laksana raja dan para pembantunya,
pimpinan dan bawahannya, tuan dan budaknya. Lihat Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Al-Ghazali, Ihya…..juz 3, hal. 5.
[24] Muhammad ibn Hibban, Shahih
ibn Hibban, Tahqiq Syu’aib Arnout, Hadits No. 297, (Bairut: Muasasah Ar-Risalah, 1993), Juz 1, hal. 532.
[25] Stephen R. Covey, A.
Roger Merrill, Rebecca R. Merrill, First
Things First, (New York: Free Press, 2003), hal. 49.
Blogger Comment
Facebook Comment